Program Makan Bergizi Gratis Sudah Berjalan Seminggu, Ini Kata Senator Lia Istifhama
Surabaya, https://pusatberitarakyat.com/ – Salah satu turunan dari implementasi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2009 tentang Kesejahteraan Sosial saat ini adalah Program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Sesuai dengan Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2024 tentang Badan Gizi Nasional (BGN), terdapat ketentuan terkait pelaksanaan pemenuhan gizi nasional, termasuk penanggulangan stunting melalui program Makan Bergizi Gratis (MBG).
Program MBG telah dimulai pada 6 Januari 2025, yang menyasar 19,47 juta anak mulai dari tingkat PAUD hingga SMA, ibu hamil, dan penduduk rentan lainnya.
Program ini masuk dalam pengalokasian dana di APBN 2025 sebesar Rp 71 triliun. Program ini menjadi perhatian publik dan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, termasuk Komite III Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI) yang dipimpin oleh Filep Wamafma, yang memasukkan MBG dalam inventarisasi masalah reses.
Salah satunya adalah Senator Dr. Lia Istifhama, atau Ning Lia. Dalam masa reses kedua kali, keponakan Gubernur Jawa Timur Terpilih Khofifah Indar Parawansa ini memberikan beberapa catatan sebagai hasil jaring aspirasi dan rekomendasi selama masa resesnya.
1.MBG sebagai Edukasi Gizi dan Penguat Modal Sosial
“Program MBG sangat positif dan menjadi edukasi tentang pentingnya keterpenuhan gizi untuk dipahami oleh anak-anak. Hal ini merupakan bagian dari deep learning dan contextual learning agar dalam keseharian mereka memiliki preferensi konsumsi yang sesuai dengan keterpenuhan gizi.”
“Selain itu, MBG merupakan titik pangkal kuatnya budaya gotong royong lintas sektoral serta jejaring ekosistem UMKM.”
Meski mengapresiasi program MBG, politisi perempuan yang dikenal dengan spirit CANTIK (Cerdas, Inovatif, Kreatif) ini juga mencatat beberapa masalah yang dihadapi oleh program MBG.
2. Keterbatasan Anggaran
Nominal Rp 10.000 per porsi MBG tentu bukan angka yang cukup di banyak daerah jika harus memenuhi semua kebutuhan gizi. Kecuali ada strategi khusus, seperti menyesuaikan porsi dengan harga.
“Masalah anggaran juga terkait dengan ketersediaan anggaran di daerah, di mana beberapa daerah belum menerima anggaran tersebut, namun tetap melaksanakan program sesuai dengan kelompok sasaran. Hal ini tentu bisa diantisipasi melalui skema sharing anggaran,” katanya
Lebih lanjut, ia menegaskan sumber skema tersebut.
“Untuk memenuhi MBG secara tepat dan optimal, tentu bisa terlaksana jika daerah memiliki keberdayaan ekonomi. Misalnya, di Jawa Timur, jika skema OTODA (Otonomi Daerah) diterapkan dengan lebih adil terkait proporsi Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT), maka kolaborasi antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah akan semakin kuat dalam memaksimalkan pelaksanaan MBG,” jelasnya.
“Pada intinya, penting sekali upaya untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah. Selain DBHCHT, ini juga bisa dilakukan melalui pengkajian kembali pemberlakuan skema opsen Pajak Kendaraan Bermotor, serta pengelolaan dan pemanfaatan ruang laut dalam batas 0-12 mil agar sepenuhnya menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi. Semua ini tentu bagian dari peningkatan Pendapatan Asli Daerah dan sekaligus sistem pendukung dalam penguatan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.”
“Terlebih, Pemerintah Provinsi Jawa Timur sangat berkomitmen untuk mendukung optimalisasi pelaksanaan MBG. Terbukti, anggaran sebesar Rp 800 miliar sudah disiapkan. Ini patut diapresiasi,” terangnya.
3.Menu Sesuai Preferensi Konsumsi Anak dan Memenuhi Kebutuhan Gizi Seimbang
Menu yang bervariasi dan memenuhi preferensi atau selera makan anak-anak sangat penting diimplementasikan. Tentu menu makanan bergizi harus mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan mineral.
Karena menu MBG harus memenuhi gizi seimbang bagi siswa penerima. Hal ini sebagai bentuk pemanfaatan secara optimal kesempatan MBG untuk menciptakan kebiasaan makan makanan sehat.
“Kita tahu bahwa anak-anak cenderung menyukai junk food dan makanan serba instan. Untuk mengimbangi kebutuhan gizi, maka hadirnya MBG sangat penting. Jika MBG menampilkan menu sesuai selera anak-anak, maka mereka akan belajar menyukai varian sayuran, dan sebagainya. Ini sangat penting sebagai pondasi kesehatan kognitif menuju Indonesia Emas 2045,” imbuhnya.
4.MBG Belum Optimal Menyentuh Pondok Pesantren
Jawa Timur adalah provinsi dengan jumlah santri terbanyak di Indonesia. Meskipun jumlah pondok pesantren di Jawa Timur sedikit lebih banyak daripada di Jawa Barat, pada kenyataannya masih ada pondok pesantren di pelosok yang sudah menjalankan fungsi pendidikan namun masih terkendala legalitas. Jadi, intinya Jawa Timur memang pusatnya pendidikan para santri.
“Oleh karena itu, program MBG diharapkan dapat menyasar pondok pesantren. Sentuhan ini sangat penting karena banyak santri yang masih memiliki keterbatasan dalam pemenuhan gizi akibat latar belakang sosial ekonomi mereka,” terangnya.
5.Perlunya Pengawasan agar Tidak Timbul Masalah Baru
Program MBG ini melibatkan banyak pihak, dengan tujuan utama yang sangat mulia, yaitu bergotong royong dalam penguatan gizi yang sekaligus menjadi antisipasi terhadap stunting. Karena melibatkan banyak pihak, maka diperlukan pengawasan.
“Pengawasan yang dimaksud, antara lain terkait kebersihan atau higienitas dapur sehat serta larangan penggunaan wadah plastik, melainkan harus dengan wadah yang bisa dicuci dan dipakai ulang, kemudian pengawasan terhadap menu yang sesuai dengan gizi dan tidak basi. Karena jika gizi terlihat lengkap tapi ternyata ada yang basi, maka itu justru akan menimbulkan masalah baru,” pungkasnya.
Ning Lia sendiri, terkait MBG, telah menyampaikan laporan dalam masa reses sidang kedua DPD RI di hadapan Ketua DPD RI Sultan Baktiar Najamudin, Wakil Ketua DPD RI Gusti Kanjeng Ratu Hemas, dan Yorrys Raweyai pada Selasa, 14 Januari 2025. (***)














