DPD RI Soroti Ancaman Kepunahan Bahasa Daerah, Lia Istifhama Tekankan Pentingnya Pengkamusan
JAKARTA, pusatberitarakyat.com — Di tengah tergerusnya bahasa daerah oleh arus modernisasi, Indonesia dihadapkan pada kenyataan pahit: ratusan bahasa lokal terancam hilang sebelum sempat terdokumentasikan. Padahal, setiap bahasa menyimpan jejak sejarah, kearifan, dan identitas budaya yang tak tergantikan. Situasi inilah yang memunculkan dorongan dari Anggota DPD RI Lia istifhama agar pemerintah lebih serius dalam penyusunan kamus bahasa daerah.
Anggota DPD RI asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, mendorong pemerintah pusat memperkuat alokasi anggaran untuk penyusunan kamus bahasa daerah, sebagai upaya strategis menjaga identitas bangsa sekaligus melestarikan kekayaan linguistik Nusantara. Dorongan ini muncul lantaran minimnya dukungan anggaran bagi pengembangan kamus di balai bahasa, sementara jumlah bahasa daerah yang perlu dilestarikan sangat besar.
Menurut Ning Lia, Indonesia memiliki 718 bahasa daerah, namun baru sekitar 180 bahasa yang memiliki kamus secara mandiri maupun yang disusun oleh Balai Pusat Bahasa. Jumlah tersebut belum memenuhi standar ideal untuk pelestarian bahasa, mengingat setiap tahun ada bahasa daerah yang mengalami penurunan penutur aktif.
“Anggaran penyusunan kamus bahasa daerah hari ini sangat minim. Padahal kamus adalah alat paling dasar untuk melestarikan bahasa. Tanpa kamus, proses revitalisasi, pembelajaran, hingga penelitian akan terhambat,” tegas Ning Lia, yang juga keponakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tersebut.
Putri KH Maskur Hasyim itu mencontohkan praktik baik dari Koninklijke Bibliotheek (KB), Perpustakaan Nasional Belanda, yang memiliki berbagai bahasa, termasuk bahasa lokal yang bukan bagian dari bahasa resmi Belanda. Dukungan tersebut menjadi fondasi penting bagi akademisi dan masyarakat dalam menjaga bahasa minoritas, sekaligus menjaga kesinambungan sejarah linguistik.
“Belanda saja yang tidak memiliki keragaman bahasa seperti Indonesia, memberikan dukungan pendanaan berkelanjutan untuk penyusunan kamus. Indonesia dengan ratusan bahasa daerah seharusnya lebih serius,” ujar Ning Lia.
Menurut Ning Lia, penguatan bahasa daerah tidak bisa dilepaskan dari konteks sejarah bangsa. Sebelum Indonesia bersatu melalui Sumpah Pemuda 1928, masyarakat nusantara hidup dalam entitas budaya yang ditandai oleh bahasa daerah masing-masing. Bahasa-bahasa tersebut memuat pengetahuan lokal, sejarah komunitas, nilai sosial, pandangan hidup dan sistem adat yang diwariskan lintas generasi.
“Bahasa daerah adalah museum hidup dari sejarah Indonesia sebelum kemerdekaan. Jika kita kehilangan bahasa, kita kehilangan memori kolektif,” ungkap Ning Lia, yang beberapa waktu lalu meraih DetikJatimAward 2025 itu.
Ia menambahkan, tanpa kamus baik cetak maupun digital banyak kosakata asli akan hilang dan tidak terdokumentasikan. Hilangnya satu bahasa berarti hilangnya satu peradaban kecil.
Berdasarkan laporan berbagai lembaga kebahasaan dan UNESCO, sejumlah bahasa daerah di Indonesia berada dalam kondisi kritis hingga 11 bahasa daerah terancam punah, sebagian besar hanya dituturkan oleh generasi tua, banyak yang tidak lagi digunakan di sekolah atau lingkungan keluarga dan beberapa bahasa memiliki penutur kurang dari 1.000 orang. Tanpa dokumentasi formal berupa kamus dan tata bahasa, proses revitalisasi akan sulit dilakukan.
Ning Lia yang juga didapuk sebagai Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai versi ARCI 2025 itu mendorong program khusus pengkamusan bahasa daerah. Ning mengusulkan agar anggaran Balai Bahasa tahun 2026 difokuskan pada penyusunan kamus bahasa daerah, terutama bahasa yang penuturnya menurun. Balai Bahasa menggandeng perguruan tinggi yang memiliki fakultas bahasa dan budaya untuk mempercepat proses penyusunan. Hingga, Pemerintah daerah terlibat dalam pendanaan dan pengumpulan data penutur asli, terutama dari wilayah terpencil. “Kamus disusun dalam format cetak dan digital agar mudah diakses generasi muda. Kemudian, pengembangan aplikasi kamus bahasa daerah berbasis AI agar kosakata dapat didokumentasikan secara dinamis.
Menurut Ning Lia, kebijakan ini tidak hanya berkaitan dengan aspek pendidikan, tetapi juga bagian dari strategi kebudayaan nasional jangka panjang.
Ia juga merekomendasikan beberapa langkah penguatan bahasa seperti Integrasi bahasa daerah di kurikulum muatan lokal secara adaptif, tidak membebani siswa. Kemudian, pembuatan konten kreatif (gim, komik, animasi) menggunakan bahasa daerah untuk menarik generasi Z dan Alpha. Terakhir, dokumentasi penutur asli melalui rekaman audio-visual sebagai referensi fonologi dan pelafalan.
“Bahasa tidak cukup hanya diselamatkan di buku. Bahasa harus punya ruang hidup. Harus digunakan sehari-hari, diajarkan, dan dirayakan,” tutup lulusan Doktor UINSA Surabaya tersebut. (*)










