Senator Idola Lia Istifhama: Soroti Penjualan Elpiji 3 Kg Asalkan Tidak Picu Budaya Antri Kontraproduktif
Surabaya, https://pusatberitarakyat.com/ – Atensi publik saat ini tersedot pada ketersediaan gas melon atau gas elpiji 3 kg yang sebelumnya umum ditemui di berbagai pedagang di tengah pemukiman dengan pola sistem ngecer.
Hal ini disebabkan per 1 Februari 2025 Pemerintah melalui Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menyampaikan penerapan pembatasan pembelian gas LPG 3 kg yang terdistribusi di pangkalan resmi sesuai terdaftar di Pertamina.
Salah satu tujuan kebijakan tersebut dijelaskan Bahlil agar masyarakat membeli LPG 3 kg langsung ke pangkalan resmi untuk mendapatkan harga jual yang sesuai dengan harga eceran tertinggi (HET) sebagaimana yang ditetapkan masing-masing pemerintah daerah.
Hal ini memicu sorotan banyak pihak karena antrean panjang masyarakat dalam membeli LPG 3 Kg, mulai terlihat di berbagai wilayah. Potensi panic buying pun menjadi perdebatan, hingga banyak pihak angkat bicara. Direktur Pusat Studi Kebijakan Publik (Puskepi) Sofyano Zakaria misalnya.
Sofyan menilai kebijakan pemerintah melarang penjualan LPG 3 kg di tingkat pengecer dan hanya bisa dilakukan di pangkalan resmi yang terdaftar di Pertamina mulai 1 Februari 2024, tidak menjamin mengurangi beban subsidi.
“Jika kebijakan tersebut dimaksudkan agar penyaluran LPG subsidi tepat sasaran, maka seharusnya dilakukan dengan membuat peraturan yang tegas atas siapa yang berhak atas LPG bersubsidi, bukan hanya mengalihkan pengecer menjadi pangkalan resmi LPG subsidi.”
Sofyano menilai penetapan pengguna yang berhak atas LPG 3 kg sebagaimana diatur dalam Perpres 104 Tahun 2007 khusus untuk rumah tangga dan usaha mikro, justru terbaca ‘abu-abu’.
Akhirnya pada penyaluran di tingkat bawah, yakni pangkalan dan pengecer, dipahami bahwa rumah tangga golongan apapun berhak membeli LPG bersubsidi.
Sedangkan senator perempuan asal Jawa Timur, Dr. Lia Istifhama, menilai kebijakan yang berjalan per 1 Februari 2025 tersebut perlu mempertimbangkan berbagai potensi dampak yang terjadi.
“Kita tetap mencoba menilai secara obyektif apapun kebijakan pemerintah. Jika hal tersebut memiliki tujuan sangat positif, yaitu masyarakat mendapatkan harga lebih murah, maka tentu kita dukung dan apresiasi. Namun jika kemudian terjadi panic buying dan tercipta budaya antri yang kontra produktif, maka ini tentu menjadi pertimbangan penting. Jangan sampai masyarakat harus antri berkepanjangan sedangkan mereka harus mengisi waktu dengan produktif, efisien dan efektif mengingat waktu sangatlah mahal,” jelasnya.
Anggota DPD RI yang dikenal dengan tagline peran CANTIK itu kemudian menyebut pentingnya ketersediaan pangkalan resmi di berbagai pelosok daerah.
“Jika memang penjualan gas melon LPG 3 kg harus pada pangkalan resmi, maka mohon dengan sangat pada Pertamina untuk membuka peluang masyarakat mendapatkan akses sebagai distributor resmi. Prinsipnya, bagaimana agar pangkalan resmi tersedia cukup di berbagai pelosok daerah,” jelasnya.
“Ini sekaligus pintu ekosistem ekonomi produktif di tengah masyarakat, namun tentunya skema penyaluran sebagai agen resmi tentu harus sesuai dengan kemampuan masyarakat. Jadi goal besarnya jelas, bahwa apapun kebijakan pemerintah, sifatnya dari dan untuk rakyat,” katanya.
Menurutnya, jika tujuan penjualan resmi adalah penajaman fungsi pengawasan agar subsidi ini benar-benar diterima oleh masyarakat rumah tangga atau bisa juga pelaku usaha kecil yang memang butuh subsidi, maka oke.
“Tapi sekali lagi, kompleksitas di lapangan harus selalu jadi pertimbangan, terutama sisi ekonomi masyarakat yang mana saya kira masih banyak masyarakat yang hanya memiliki 1 buah tabung gas sehingga mampunya membeli satu tabung hanya jika kehabisan” pungkasnya.(*)