Anggota DPD RI Lia Istifhama: Peringatan Tahun Baru Imlek Wujud Pluralisme yang Merupakan Sunatullah
Surabaya, https://pusatberitarakyat.com/ – Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Dr Lia istifhama, M.E. I mengucapkan atas Peringatan Tahun Baru Imlek 2025 yang digelar pada Rabu, 29 Januari 2025. Pemerintah menetapkan peringatan Hari Raya Imlek tahun sesuai dalam Surat Keputusan Bersama (SKB) 3 Menteri Nomor 1017, 2, dan 2 Tahun 2024 tentang Hari Libur Nasional dan Cuti Bersama Tahun 2025.
Ning Lia sapaan Lia Istifhama menilai jika Perayaan Tahun Baru Imlek begitu hikmah dan kedamaian. Apalagi, saat ini lanjut Ning Lia Indonesia dikenal sebagai negara yang sangat menjunjung tinggi Pluralisme, di mana perbedaan dalam agama, suku, ras, dan budaya dihargai sebagai bagian dari identitas bangsa.
“Pluralisme bukan hanya sebuah konsep toleransi, tetapi juga merupakan manifestasi dari Sunatullah (hukum alam) yang mengajarkan bahwa perbedaan adalah keniscayaan dalam kehidupan manusia. Indonesia, dengan segala keberagaman etnis dan agama, mengangkat tema pluralisme sebagai bagian dari jati diri bangsa, yang menegaskan bahwa Indonesia adalah milik seluruh elemen masyarakat tanpa diskriminasi,” jelasnya.
Menurut Ning Lia, dalam pluralisme tidak berarti penyamaan agama atau keyakinan, tetapi pemahaman bahwa setiap individu memiliki hak untuk memeluk agama dan keyakinan sesuai dengan pilihan pribadinya. Hal ini menunjukkan penghargaan terhadap pluralitas, yaitu kesadaran bahwa di luar keimanan terhadap agama yang kita anut, ada pula keimanan yang dianut oleh orang lain.
“Pluralisme mengajarkan bahwa kemajemukan beragama adalah bagian dari kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang harus dihargai.
Dalam konteks kebangsaan, Indonesia mengakui etnis Tionghoa sebagai bagian dari suku bangsa yang setara dengan suku-suku lain seperti Jawa, Batak, Papua, Arab, India, Jepang, dan Eropa, yang telah lama bermukim dan menjadi bagian dari warga negara Indonesia.
Etnis Tionghoa, sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945, memiliki hak yang sama sebagai warga negara,” jelasnya.
Dikatakannya, pemaknaan pluralisme ini selaras dengan pengamalan Pancasila, terutama sila ke-3 dan ke-5. Sila ke-3 mengajarkan untuk menjaga persatuan dalam keberagaman, sedangkan sila ke-5 mengarah pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
“Konsep pluralisme ini merupakan bagian dari warisan Gus Dur, yang memandang bahwa keberagaman adalah rahmat yang harus dijaga, baik dalam kehidupan bermasyarakat maupun bernegara,” jelasnya.
Fathurrohman, dalam tulisannya “Fikih Pluralisme dalam Perspektif Ulama NU” yang diterbitkan dalam Jurnal Asy-Syir’ah UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, menjelaskan bahwa Gus Dur memiliki tiga dimensi dalam konsep pluralismenya, yaitu dimensi pemikiran, dimensi perilaku, dan dimensi tindakan. Pada dimensi pemikiran, Gus Dur mengajarkan bahwa pluralitas adalah kehendak Allah yang jelas termaktub dalam Al-Qur’an. Gus Dur mengimbau umat Muslim untuk tidak melakukan homogenisasi ajaran agama, karena hal tersebut bertentangan dengan semangat Al-Qur’an.
Di dimensi perilaku, Gus Dur aktif terlibat dalam berbagai kegiatan pro-demokrasi, pendukung Hak Asasi Manusia (HAM), dan dialog lintas agama. Meskipun sering mendapat kritik dari pihak-pihak yang berpendirian fundamental, Gus Dur tetap konsisten dalam memperjuangkan persatuan Indonesia tanpa membedakan agama atau latar belakang apapun.
Dimensi lainnya adalah tindakan nyata, yang terlihat ketika Gus Dur menjabat sebagai Presiden ke-4 Indonesia.
Ia mencabut Instruksi Presiden No. 14 Tahun 1967 yang membatasi kebebasan beragama bagi etnis Tionghoa, membuka jalan bagi mereka untuk merayakan Tahun Baru Imlek secara bebas. Pada 2002, Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Tahun Baru Imlek sebagai hari libur nasional, sebagai dampak dari kebijakan Gus Dur tersebut.
Selain itu, Gus Dur juga aktif dalam membangun dialog antar agama, sebuah wujud nyata dari toleransi dan penghargaan terhadap pluralitas.
“Pluralisme adalah pengakuan terhadap kemajemukan beragama, bernegara, dan bermasyarakat, yang mencerminkan perpaduan antara nilai-nilai keislaman, keindonesiaan, dan kemanusiaan,” katanya. (*)