Pusatberitarakyat.com | Surabaya – Pemerintah terus mendukung penguatan terhadap koperasi, khususnya di sektor perairan melalui penyelenggaraan kegiatan kepada tenaga kerja bongkar muat yang menjadi pengurus, pengelola, dan anggota koperasi.
Termasuk pembinaan dan pengawasan terhadap Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) yang dilakukan tiga instansi terkait. Yaitu, Kementerian Ketenagakerjaan, Kementerian Perhubungan, serta Kementerian Koperasi dan UKM.
Hal itu dipaparkan Deputi Bidang Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UKM Ahmad Zabadi, dalam acara Pelatihan Peningkatan Kapasitas dan Kualitas SDM Perkoperasian PPKL dan Pelatihan Pengelola serta Pengurus Koperasi TKBM (Tenaga Kerja Bongkar Muat) di Surabaya, Rabu (23/3).
Zabadi menambahkan, pengelolaan TKBM oleh koperasi merupakan mandat PP No. 7/2021 yang merupakan turunan dari UU Cipta Kerja.
Koperasi sebagai Badan Hukum yang mewadahi TKBM Pelabuhan merupakan pilihan yang tepat “TKBM tidak hanya sebagai pekerja, namun sebagai pemilik dari koperasi yang mendapatkan keuntungan dari usaha koperasi,” tandas Zabadi.
Saat ini, terdapat terdapat 110 Koperasi TKBM (Primer) di bawah koordinasi Induk Koperasi TKBM (Sekunder). Dimana setiap satu pelabuhan terdapat satu koperasi TKBM dalam pengoperasionalan tenaga kerja bongkar muat.
“Kegiatan pelatihan yang intensif dan efektif bagi pengurus dan pengawas Koperasi Tenaga Kerja Bongkar Muat menjadi terobosan dalam upaya menciptakan Koperasi Modern, khususnya di wilayah Pelabuhan,” ulas Zabadi.
Termasuk di dalamnya adalah pengembangan usaha Koperasi TKBM. Sehingga, Koperasi TKBM tidak hanya bergantung pada pelaksanaan bongkar muat. “Ke depannya, usaha-usaha lainnya dapat juga dilakukan,” ungkap Zabadi.
Sementara itu, terkait tugas Petugas Penyuluh Koperasi Lapangan (PPKL), Zabadi menekankan hal itu tidak sekadar ngobrol dan berdiskusi dengan pelaku koperasi yang menjadi dampingannya.
“Mereka dituntut harus turut serta menjadi pendobrak dan menjadi katalis bagi kemajuan koperasi. PPKL harus mampu menjadi konsultan, pendamping dan staf ahli bagi koperasi untuk menemukan pasar yang lebih luas,” jelas Zabadi.
Menurut Zabadi, salah satu hal yang harus mampu dilakukan para tenaga PPKL adalah mengenalkan para pengurus koperasi pada digitalisasi koperasi. “Produk-produk koperasi perlu dimasukkan dalam laman LKPP atau Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah,” kata Zabadi.
Dengan masuknya produk UMKM dan koperasi di laman LKPP, maka potensi pasar mereka semakin luas. Sebab, ada kewajiban bagi Kementerian dan Lembaga membelanjakan anggarannya untuk belanja barang dan jasa UMKM dan koperasi sebesar 40 persen.
“Jadi, pendampingan kepada koperasi harus dilakukan bukan sekadar ngobrol dan lihat produknya. Tapi, cek pasarnya bagus atau tidak, dan masukkan ke laman e-Katalog LKPP. Arahnya nanti begitu,” ucap Zabadi.
Jadi, lanjut Zabadi, PPKL harus menginvetarisasi produk unggulan koperasi lalu kurasi, dan cek persyaratan untuk masuk ke market place dan e-katalog. “Setelah terpenuhi, dampingi dan pastikan produk itu masuk ke LKPP,” tandas Zabadi.
Mengingat tugas yang berat itu, Zabadi menekankan pentingnya para PPKL untuk selalu menjadi katalisator bagi koperasi untuk terus melakukan transformasi. Sebab, dengan transformasi model koperasi yang disesuaikan dengan kondisi terkini, maka peluang bagi koperasi untuk menjadi besar dan berkembang menjadi sangat besar.
“Kalau ini tidak bisa dipenuhi oleh kita untuk apa ada PPKL. Jadi, bantu koperasi ini untuk memperbaiki produk dan kualitasnya. Arahkan koperasi memiliki kualitas produk yang baik, sehingga tidak ada keraguan bagi pemerintah dan BUMN, swasta untuk menggunakan produk koperasi,” jelas Zabadi.
Diakui Zabadi, tantangan utama dalam pengembangan koperasi di Indonesia adalah rendahnya minat masyarakat untuk berkoperasi. Masyarakat masih kerap memandang koperasi sebagai lembaga yang kurang terpercaya. “Oleh sebab itu, menjadi tugas PPKL juga untuk memberikan edukasi yang benar kepada masyarakat terhadap koperasi,” tegas Zabadi.
Memang, minat masyarakat yang rendah menjadi faktor lambatnya pertumbuhan jumlah anggota koperasi di Indonesia. Minat masyarakat berkoperasi hanya sebatas 8,4 persen. “Sementara di negara-negara kapitalis saja, minat masyarakat berkoperasi rata-rata 16 persen,” ungkap Zabadi.
Ujung Tombak
Dalam kesempatan yang sama, Asdep Pengembangan SDM Perkoperasian dan Jabatan Fungsional Kementerian Koperasi dan UKM Nasrun menambahkan, peran PPKL dinilai sangat penting sebagai ujung tombak dalam mendorong peningkatan kualitas koperasi.
Namun, sayangnya, diakui Nasrun, masih banyak celah dan kekurangan yang harus dihadapi para PPKL ini dalam menjalankan tugasnya.
Salah satu kendala yang dihadapi para PPKL dalam menjalankan tugasnya adalah upah minim. Akibatnya, untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, PPKL harus bekerja sampingan apapun jenisnya demi mendapatkan tambahan pemasukan.
Meski begitu, Nasrun menyebutkan bahwa pihaknya sedang mengupayakan agar ada perhatian khusus pemerintah terkait peningkatan kesejahteraan bagi para PPKL.
“PPKL punya tugas mulia, di samping sebagai ujung tombak, PPKL kita harap profesionalisme walau gajinya kecil tapi perlu diketahui bahwa kita sedang perjuangkan agar setara UMR,” ujar Nasrun.
Nasrun berharap dengan segala keterbatasan itu, PPKL tetap mempertahankan etos kerja dan profesionalismenya dalam mendorong peningkatan kapasitas usaha koperasi dan UKM. Dia meminta para PPKL juga turut memperkaya wawasannya dan menghilangkan mindset kerja PPKL sebagai kerja kantoran.
“Kita minta upgrade diri sendiri dan harapannya PPKL kita profesional agar tidak sebatas pendamping saja, kalau bisa jadi tenaga bayaran bagi koperasi ketika membutuhkan jasanya seperti menyusun laporan keuangan. Tapi ingat itu harus dikerjakan di luar tugas utama,” tukas Nasrun.
Dalam catatan Kementerian Koperasi dan UKM (KemenkopUKM), saat ini, jumlah PPKL yang dimiliki berjumlah 1.235 orang yang tersebar di 33 provinsi dan 341 Kabupaten/Kota. Sementara itu jumlah koperasi mencapai 127.124 unit dengan jumlah anggota mencapai 25,09 juta anggota.
“Banyaknya koperasi dan jumlah PPKL diakui tidak sebanding sehingga perlu treatment lain agar koperasi-koperasi di Indonesia bisa sama-sama maju dan produktif,” ungkap Nasrun.
Sementara itu, Cepi Sukur Laksana selaku Kepala Bidang Kelembagaan dan Pengawasan Dinas Koperasi, Usaha Kecil dan Menengah Provinsi Jawa Timur mengapresiasi pelaksanaan pelatihan peningkatan SDM bagi PPKL di wilayahnya.
Menurut Cepi, momen tersebut menjadi kesempatan yang baik dalam upaya mendorong peningkatan kapasitas SDM PPKL.
“Terima kasih sekali kami diberi kesempatan untuk ada pelatihan di Jawa Timur karena tidak semua propinsi dapat jatah seperti ini. Kemarin juga dilatih untuk koperasi besar di sektor keuangan,” ungkap Cepi.
Terkait dengan nasib PPKL di wilayahnya, Cepi meminta ada perhatian lebih dari pemerintah untuk memberikan jaminan keselamatan kerja. Sebab, saat menjalankan tugas pendampingan kepada UMKM dan koperasi, PPKL dihadapkan pada risiko kerja yang kerat terjadi di lapangan.
“Kami minta ada perlindungan terkait BPJS ketenagakerjaan, ini perlu kami mintakan kepada bapak untuk mereka. Kalau soal fee memang sudah ada tapi kecil sekali,” pungkas Cepi. (yos’03)