Lonjakan Pengaduan E-Commerce, Lia Istifhama Minta RUU Perlindungan Konsumen Jadi Prioritas
Jakarta, pusatberitarakyat.com – Undang-Undang Perlindungan Konsumen (UUPK) No. 8/1999 dinilai tidak lagi memadai dalam menghadapi tantangan era digital. Regulasi yang sudah berusia lebih dari dua dekade itu mulai kedodoran menghadapi dinamika marketplace global, transaksi lintas negara, hingga banjirnya produk impor murah.
Pembaruan payung hukum menjadi kebutuhan mendesak agar konsumen tidak terus menjadi pihak yang dirugikan.
Kenyataannya, kasus penipuan digital menunjukkan tren yang semakin mengkhawatirkan. Data Pengawas Perilaku Usaha Jasa Keuangan OJK mencatat lebih dari 180 ribu laporan penipuan digital antara November 2024 hingga pertengahan Oktober 2025, dengan kerugian diperkirakan mencapai triliunan rupiah. Dari jumlah itu, 53.900 laporan berasal dari modus belanja online, dengan rata-rata kerugian per korban Rp 18,33 juta.
Lembaga konsumen juga menyuarakan hal serupa. YLKI mencatat 124 pengaduan terkait e-commerce sepanjang 2023, atau 13,1% dari seluruh pengaduan yang mereka terima. Permasalahan terbanyak mencakup refund tidak diproses (23,4%), penipuan atau pembobolan (14,8%) hingga barang tidak dikirim (5,5%).
Menanggapi situasi ini, Anggota DPD RI, Dr. Lia Istifhama, menegaskan pentingnya mempercepat pengesahan RUU Perlindungan Konsumen. Ia menilai gelombang transaksi digital yang terus meningkat tanpa regulasi yang kuat hanya akan memperlebar risiko kerugian masyarakat.
“Tanpa payung hukum yang modern, konsumen semakin rentan terhadap penipuan, produk kedaluwarsa, hingga pemalsuan barang,” tegas Ning Lia yang juga keponakan Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa tersebut.
Ning Lia sapaan akrabnya mengungkapkan risiko transaksi digital bukan lagi sekadar potensi, tetapi sudah menjadi ancaman nyata. Data Kementerian Perdagangan menunjukkan 20.942 pengaduan konsumen antara 2022 hingga Maret 2025, dan lebih dari 92% di antaranya berkaitan dengan transaksi daring. Pengaduan tersebut mencakup peredaran barang tiruan, produk ilegal, hingga barang yang tidak sesuai deskripsi.
Sejumlah kasus ekstrem bahkan menunjukkan betapa banyaknya penipuan terhadap konsumen. Pernah dilaporkan, seorang konsumen yang memesan iPhone justru menerima sabun mandi, sementara pembeli ponsel Nokia mendapatkan barang lain yang sama sekali tidak relevan. Rendahnya sanksi membuat praktik ini berulang.
“Banyak konsumen akhirnya enggan melapor karena prosesnya mahal, rumit, dan tidak bisa diandalkan, terutama pengaturan transaksi lintas negara dan e-commerce,” ujarnya.
Senator yang dinobatkan sebagai Wakil Rakyat Terpopuler dan Paling Disukai di Jatim versi ARCI 2025 itu mencontohkan negara lain yang lebih tegas. Tiongkok, misalnya, menerapkan sistem pengaduan konsumen yang sangat ketat. Produsen yang tidak merespons keluhan dalam jangka waktu tertentu dapat dikenai penalti berat, mulai dari denda hingga pencabutan izin usaha.
Menurut Doktoral Ilmu Ekonomi Islam UINSA itu, RUU Perlindungan Konsumen yang saat ini digodok bukan hanya melindungi konsumen, melainkan juga memberikan kepastian hukum bagi pelaku usaha. Dengan aturan yang jelas, inovasi tetap bisa berjalan tanpa mengorbankan hak masyarakat.
“Dengan aturan baru nanti, hak konsumen terlindungi, pelaku usaha pun bisa berinovasi tanpa merasa dirugikan. Tujuannya adalah menciptakan iklim usaha yang adil dan ekonomi nasional yang tumbuh berkelanjutan,” terang Ning Lia yang juga putri KH Maskur Hasyim tersebut.
Menurut Ning Lia yang juga terkenal sebagai akademisi dan aktivis sosial itu, persoalan yang kerap luput dari perhatian publik peredaran produk kedaluwarsa di platform daring. Tanpa pengaturan yang rinci, penjual dapat mengedarkan barang yang sudah melewati tanggal kedaluwarsa tanpa konsekuensi serius.
Menurutnya, perlindungan tidak hanya menyangkut kualitas fisik barang, tetapi juga keamanan data konsumen dan transparansi rantai pasok. Mulai dari asal produk, tanggal produksi, masa berlaku, hingga mekanisme penyimpanan harus tercantum jelas.
“Nantinya harus ada edukasi literasi digital agar masyarakat paham risiko transaksi online, bisa mengenali penipuan, dan memahami prosedur pengaduan,” tambahnya.
Ning Lia berharap RUU yang sedang dibahas dapat memperkuat koordinasi antar lembaga pengawas seperti Kemendag, OJK, BPKN, dan Kemenkominfo, sehingga pengaduan konsumen bisa ditangani lebih cepat dan efektif.
“Saya berharap nantinya RUU ini memperkuat kerjasama antara lembaga pengawas nasional (seperti Kementerian Perdagangan, OJK, Badan Perlindungan Konsumen, dan Kemenkominfo) agar pengaduan konsumen bisa ditangani dengan cepat dan efektif,” harap Ning Lia yang baru-baru ini mendapatkan DetikJatim Award 2025.
Sebelumnya, Dirjen perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga Kementerian Perdagangan (Kemendag), Moga Simatupang menyampaikan pengaduan konsumen yang diterima Kemendag periode 2022-2025 jumlahnya meningkat, totalnya 20.942 laporan. Sebanyak 92 persen dari laporan itu mengenai e-commerce. Mekanisme dan penyelesaian sengketa konsumen sudah tersedia, tapi belum efektif.
“UU 8/1999 belum memberikan pemahaman yang jelas tentang konsumen dan implementasinya masih kurang. Penegakan hukum lemah dan norma tidak sesuai perkembangan terkini sehingga kami perlu pula mendorong RUU perlindungan konsumen sesuai era yang berlaku,” ujarnya. (*)















